Defenisi stroke iskemik
Stroke
iskemik adalah stroke yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan disatu atau
lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat terjadi akibat
bekuan (trombus) di pembuluh darah otak atau pembuluh atau organ distal, emboli
dari pembuluh darah besar dan jantung dan vasokontriksi (Hartwig, 2006).
Klasifikasi stroke
Iskemik
Berdasarkan
penyebab stroke iskemik di bagi atas :
a) Stroke lakunar
Infark
lakunar terjadi karena oklusi aterotrombotik atau hialin-lipid salah satu dari
cabang penetrans sirkulus Willisi,
arteri serebri media, arteri vertebralis dan basilaris. dan dapat menimbulkan
sindrom stroke dalam beberapa jam atau lebih lama.
b) Stroke trombotik pembuluh darah besar
Stroke
yang berkaitan dengan arteroskelrotik yang menyebabkan penyempitan dan stenosis
di arteri karotis interna atau lebih jarang di pangkal arteri serebri media
atau di taut arteri basilaris dan vertebralis.
c) Stroke emboli
Stroke
yang terjadi akibat embolus dari arteri atau jantung biasanya menimbulkan
defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit.
d) Stroke kriptogenik
Stroke
dengan penyebab yang tidak jelas walaupun sudah
dilakukan pemerikasaan diagnostik dan evaluasi klinis yang intensif (Hartwig: 2006)
Patogenesis Stroke iskemik
Akibat
penurunan CBF (Cerebral Blood Flow) terdapat beberapa daerah otak yang
terisolasi dan tidak mendapat aliran darah yang mengangkut oksigen dan glukosa
yang sangat diperlukan untuk metabolisme oksidatif serebral. Daerah yang
terisolasi tersebut tidak berfungsi lagi maka timbulah manifestasi defisit neurologik
yang biasanya berupa hemiparalisis, hemiparestesia atau afasia.
Jika CBF regional tersumbat secara
parsial maka daerah tersebut akan kekurangan oksigen yang disebut daerah
iskemik. Di wilayah itu didapati tekanan perfusi yang rendah, PO2
turun, CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan kelola
vasomotor dalam daerah tersebut bekerjasama untuk menanggulangi keadaan iskemik
tersebut dengan mengadakan vasodilatasi maksimal. Pada umumnya, hanya pada
perbatasan daerah iskemik saja bias dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga
daerah perbatasan tersebut dapat diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat daerah iskemik itu tidak dapat
teratasi oleh mekanisme autoregulasi dan kelola vasomotor.
Disitu akan berkembang proses degenerasi yang ireversibel. Semua pembuluh
darah di bagian pusat daerah iskemik itu kehilangan tonus sehingga berada dalam
keadaan vasoparalisis. Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel
otot polos pembuluh darah bisa bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama.
Pembengkakan sel dengan pembengkakan
serabut saraf dan mielinnya nerupakan reaksi degeneratif dini. Kemudian disusul
dengan diapedesis eritrosit dan leukosit. Akhirnya sel-sel saraf akan musan
(Mardjono, 2006).
Stroke
iskemik fase akut
Pada stroke iskemik fase akut terjadi sumbatan pembuluh darah di otak
yang menyebabkan daerah yang iskemik menjadi bengkak atau edema serebri
regional. Jika tetap tidak ada darah yang mengalir kesitu maka edema serebri
bertambah. Jika setelah 5 hari tidak terdapat perbaikan, maka pusat daerah inti
menjadi nekrotik. Apabila edema serebri yang serentak berkembang dengan
timbulnya manifestasi klinis dapat diperbaiki dengan cepat, maka jatah darah
untuk bagian otak yang iskemik itu akan menjadi besar sesuai dengan mengurangnya
edema. Daerah iskemik disekeliling pusat yang sudah nekrotik masih dapat
diselamatkan (Mardjono, 2006).
Gejala
dan tanda stroke iskemik
Tanda
utama stroke adalah munculnya satu atau lebih neurologik fokal yang mungkin
mengalami perbaikan dengan cepat atau malah menetap dan Mengalami perburukan.
Gejala umum berupa lemas mendadak di tangan wajah, kaki atau tungkai terutama
di salah satu sisi tubuh. Gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda atau
kesulitan melihat pada satu atau dua mata, bingung dan mendadak tersandung
waktu berjalan, pusing, hilangnya keseimbangan atau koordinasi dan nyeri kepala
mendadak tanpa kausa yang jelas.
Gambaran klinis
utama yang bekaitan insufisiensi arteri ke otak :
1. Arteri serebri media (tersering )
a)
Hemiparesis
kontralateral biasanya mengenai lengan
b)
Kadang-kadang
hemianopsia (kebutaan) kontralateral
c)
Afasia
global (bila hemisfer utama terkena)
d)
Disfasia
2. Arteri serebri anterior
a)
Kebingungan
adalah gejala utama
b)
Kelumpuhan
kontralateral yang biasa lebih besar di tungkai
c)
Defisit
sensorik kontralateral
d) Demensia, gerakan menggengam, reflek
patologik
3. Arteri serebri posterior
a)
Koma
b)
Hemiparesis
kontralateral
c)
Afasia
visual atau buta kata
d) Kelumpuhan
saraf kranialis ketiga : hemianopsia
4. Arteri karotis interna
a)
Biasanya
unilateral
b)
Dapat
terjadi kebutaan 1 mata di sisi arteri yang terkena
c)
Gejala
sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi arteri
serebri media
d)
Lesi
dapat terjadi di daerah antara arteri serebri media atau anterior. Gejala
kelemahan mula-mula timbal di extremitas atas, bisa mengenai wajah. Bila lesi
di hemisfer dominan bisa terjadi afsai ekspresif.
5. Sistem vertebrobasilar
a)
Kelumpuhan
di satu atau empat ekstremitas
b)
Meningkatnya
refleks tendon
c)
Ataxia
d) Tanda Babinski bilateral
e)
Disfagia,
disartria, vertigo
f)
Sinkop,
stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
g)
Gangguan
penglihatan
h)
Gangguan
pendengaran
i)
Rasa
baal di wajah, mulut, dan lidah (Hartwig,2006).
Karena lokasi anatomik
neuron-neuron yang mengendalikan berbagai modalitas motorik dan sensorik di
korteks serebrum, gejal spesifik CVA dapat sangat bervariasi, bergantung pada
lokasi dan pembuluh darah otak yang terkena, serta lokasi dan jumlah neuron
yang cedera. Apabila proses patologik dan jenjang reaksi kimiawi yang terjadi sesudahnya
telah berhenti pasien dikatakan mengalami stroke “sempurna”. Hasilnya adalah suatu defisit
neurologik tetap yang timbul pesat atau perlahan (Hartwight, 2006).
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang penting dilakukan pada
stroke fase akut yaitu : hitung darah lengkap, PT, PTT, pemeriksaan kimia
lengkap, kadar glukosa darah, kolesterol (kolesterol total normal <
200mg/dl) (Wiley, 2007).
2. CT
scan
CT scan adalah kunci diagnosis dan diperlukan sebelum
terapi walaupun MRI adalah alat untuk diagnosa yang terbaik. CT scan dalam 6
jam pertama sering tidak bisa memperlihatkan gambaran iskemik. Gambaran CT scan
ini dapat memberikan informasi tentang prognosis stroke, seperti adanya
hiperdensitas spontan arteri serebri media menunjukkan prognosis yang baru
(Fisher, 2001).
3. Elektrokardiografi
Disritmia
yang paling sering terjadi pada stroke iskemik. Pada atrial fibrilasi biasanya
terdapat trombus yang dapat menyebabkan emboli di serebri dan merupakan faktor risiko yang kuat
untuk kejadian stroke emboli yang berhubungan dengan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas. Trombus adalah massa padat atau sumbatan yang
terbentuk dari unsur-unsur darah dalam sirkulasi. Faktor risiko terjadinya
trombosis berkaitan dengan aterosklerosis diantaranya hipertensi,
hiperlipidemia, kelainan EKG, diabetes mellitus, dan peningkatan fibrinogen (Fisher,
2001; Nasution, 2006; Rasyid, 2008).
Kondisi
jantung merupakan sumber potensial terjadinya kardioemboli antara lain
pembesaran atrium kiri, anurisma septum atrium, fibrilasi atrium, penyakit
jantung katup dan gangguan kontraksi ventrikel. Kondisi-kondisi tersebut
mengakibtakan penurunan aliran darah akibat dilatasi jantung terutama atrium
kiri yang mengakibatkan stasis darah sehingga dapat mengaktifkan faktor
koagulasi dan menyebabkan aktivasi platelet (Fisher, 2001).
Faktor-faktor
yang dapat memperburuk outcome stroke iskemik
Faktor Risiko Stroke
iskemik
Terdapat beberapa pembagian dari faktor risiko
terjadinya stroke, yaitu Nonmodifiable
stroke risk factors, Modifiable stroke risk factors, dan Potentially modifiable risk factors (Goldstein, 2009; Adams, 2005).
Menurut Goldstein (2009), dan Adams (2005) Nonmodifiable stroke risk factorsterdiri dari: Umur, Jenis kelamin, Suku bangsa, Berat lahir rendah,
dan Genetik. Modifiable stroke risk factors terdiri dari: Hipertensi, Merokok, Diabetes
mellitus, Stenosis karotis asimptomatik, Fibrilasi Atrium, Sickle-cell
disease,
Hiperlipidemia, Faktor Diet (diet yang tidak sehat), Obesitas, Kurang
beraktifitas fisik, Terapi hormon (postmenopause), Penyakit jantung. Menurut Goldstein (2009), Potentially modifiable risk
factors terdiri dari: Sindrom metabolik, penyalahgunaan
alkohol, penyalahgunaan obat, penggunaan kontrasepsi oral, gangguan napas
selama tidur, hyperhomocysteinemia,
kenaikan lipoprotein, inflamasi, dan aspirin.
a.
Usia tua
Meskipun
stroke dapat mempengaruhi seseorang dari segala usia, penyakit ini terutama
mempengaruhi populasi yang lebih tua, Risiko stroke dua kali lipat untuk setiap
dekade setelah usia 55.
b.
Jenis kelamin
Pria mati
lebih awal akibat penyakit jantung, dan ini dapat menjelaskan adanya
peningkatan risiko stroke pada wanita yang berusia tua; perempuan diperkirakan
merupakan mayoritas kematian akibat stroke di Amerika Serikat (61,5%). Wanita memiliki insidensi yang lebih tinggi
pada usia tertentu. Wanita
pengguna kontrasepsi oral (OC) dan wanita hamil berkontribusi meningkatan
insidensi Angka kematian dan kesakitan pada stroke iskemik biasa lebih
sering pada laki-laki (Toole, 1990; Fisher, 2001; Goldstein, 2009; Adams, 2005).
c. Suku
Bangsa
Afrika-Amerika dan Latin Amerika memiliki
insiden stroke lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika keturunan Eropa.
Kelompok ini memiliki prevalensi yang lebih tinggi pada hipertensi, diabetes
dan obesitas.
d.
Berat Lahir Rendah
Diperkirakan bahwa risiko stroke
lebih dari dua kali lipat pada orang dengan berat lahir < 2,5 kg
dibandingkan dengan > 4 kg. Penyebab asosiasi ini masih belum pasti namun
dapat menjelaskan perbedaan regional dalam kematian stroke yang terkait.
e.
Genetik
Peningkatan
risiko stroke pada pasien dengan sejarah paternal dan maternal dapat disebabkan
oleh warisan genetik dari modifiable risk
factors dan faktor risiko lingkungannya, seperti kesamaan dalam makanan dan
gaya hidup antara orang tua dan anak mereka.
f. Hipertensi
Hipertensi
merupakan faktor risiko Modifiable yang
paling penting. Bertanggung jawab terhadap 50% dari semua stroke. Risiko
peningkatan hipertensi bertambah dengan meningkatnya usia. Lebih dari 90% dari
orang dengan tekanan darah normal pada usia 55 akan menjadi hipertensi pada
dekade kesembilan kehidupan mereka (Goldstein, 2009; Adams, 2005).
g. Fibrilasi atrium (FA)
FA bertanggung jawab sekitar 60.000 stroke per tahun di Amerika Serikat,
atau dalam 2% sampai 4% orang dengan FA
tanpa riwayat iskemia otak. Hal ini umum di antara pasien yang lebih tua,
mempengaruhi 5% dari orang-orang lebih dari 70 tahun. FA bertanggung jawab
untuk hampir 25% dari semua stroke pada pasien lebih dari 80 tahun. Pasien
dengan AF yang memiliki risiko vaskuler lainnya berisiko lebih tinggi terserang
stroke (Goldstein, 2009; Adams, 2005).
Faktor
yang memperberat Outcome Stroke
iskemik
a. Usia
Toole (1990) telah mengklasifikasikan kelompok usia
pada penderita stroke, yakni usia muda 10-40 tahun dan usia tua
> 40 tahun (Toole, 1990). Usia tua akan semakin memperburuk outcome stroke, sesuai dengan faktor risikonya.
Wade melaporkan bahwa umur berpengaruh pada hasil akhir stroke dalam hal fungsi
aktivitas kehidupan sehari-hari,
tapi tidak pada aspek perbaikan neurologis (Wade, 1983). Stroke iskemik
yang terjadi sebelum umur 45 tahun (dewasa muda), risiko kematiannya menjadi
sangat rendah (2%), demikian pula risiko stroke ulang (Yamaguchi et al., 1992).
b. Jenis
kelamin
Angka kematian dan kesakitan pada stroke iskemik
biasa lebih sering pada laki-laki dan ini berlaku untuk kebanyakan kelompok
usia, dengan pengecualian orang yang berusia 35-44 tahun dan mereka yang
berumur lebih dari 85 tahun. Pada
kelompok ini, wanita memiliki insidensi yang lebih tinggi pada usia tertentu (Toole,
1990; Fisher, 2001; Goldstein, 2009; Adams, 2005).
c. Hipertensi
Tekanan
darah yang tinggi saat terjadinya stroke iskemik akut berhubungan dengan respon
inflamasi yang dapat memperburuk outcome neurologis. Selain itu, infark
serebrum dapat terjadi setelah embolus di suatu arteri yang mengakibatkan perdarahan. Apabila embolus
telah dilenyapkan dari arteri,dinding pembuluh darah bekas tempat oklusi akan mengalami perlemahan
selama beberapa hari pertama setelah oklusi dan dapat mengalami perdarahan atau
kebocoran jika hipertensi tidak dikendalikan dan dapat menyebabakan kerusakan
lebih lanjut (Rodriguez, 2006; Hartwig, 2006).
Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa hipertensi, yang diukur secara manual maupun melalui pembacaan monitor 24
jam pada stroke fase akut dikaitkan dengan outcome
yang buruk. Penjelasan dari penemuan ini belum diberikan secara pasti, walaupun
secara spekulatif hipertensi dapat menginisiasi kejadian berulang dalam waktu
yang relatif singkat, transformasi menjadi perdarahan, ataupun pembentukan
edema serebral (Leonardi-Bee et al.,
2002).
d.
Penurunan Kesadaran
Tingkat
kesadaran pasien saat onset mempengaruhi baik buruknya outcome stroke. Parameter kesadaran yang paling lazim digunakan
adalah Glasgow Coma Scale (GCS)
dengan penilaian 3 komponen, yakni mata (E, 4 poin), motorik (M, 6 poin), dan
verbal (V, 5 poin). Berikut ini adalah interpretasi skala GCS :
1) Skor
15 :
compos mentis
2) Skor 13-14 : Somnolen
3) Skor
9-12 : Sopor
4) Skor
3-8 : koma
GCS > 11 menunjukkan kemungkina untuk sembuh yang
besar (Toole, 1990; Hartwig, 2006).
e.
Peningkatan
kadar glukosa darah
Saat
stroke iskemik terjadi metabolisme anaerob yang menghasilkan asam laktat yang
bersifat neurotoksik. Untuk itu kadar glukosa
perlu dipertahankan pada kadar normal. Peninggian kadar glukosa darah
sering dihubungkan dengan tingginya angka kesakitan dan kematian pada stroke
iskemik akut pada tipe nonlakunar. Kadar glukosa darah yang tinggi dikaitkan
dengan meningkatnya kejadian perdarahan (hemoragik) setelah iskemik. Kadar glukosa darah sewaktu normal < 110 mg/dl (Toole,
1990; Gustaviani, 2006; Bruno, 2010).
Hiperglikemia setelah kejadian stroke telah dikaitkan dengan outcome yang buruk dan terutama
berpengaruh pada penderita tanpa diabetes. Hiperglikemia akut
diprediksi meningkatkan risiko kematian di rumah sakit setelah stroke iskemik
pada penderita non diabetik dan memperburuk outcome
fungsional pada penderita non diabetik yang bertahan hidup (Capes et al., 2001).
f.
Gambaran
Radiologis
CT
scan dalam 6 jam pertama sering tidak bisa memperlihatkan gambaran iskemik.
Gambaran CT scan ini dapat memberikan informasi tentang prognosis stroke,
seperti adanya hiperdensitas spontan arteri serebri media menunjukkan stroke yang baru (Fisher, 2001). Pada
kejadian trombotik, penderita dengan lesi kecil dan dalam dengan defisit
neurologis fokal tanpa terjadinya penurunan kesadaran mempunyai prognosis
penyembuhan fungsional yang sangat baik. Lesi yang lebih besar pada
daerah yang sama, tetapi meluas sampai ke korteks menyebabkan defisit
neurologis fokal, yang berakibat lebih besar pada kesiagaan dan meninggalkan
defisit berupa gangguan kognitif yang akan menghambat penyembuhan fungsional
(Toole, 1990).
Beratnya
defisit neurologis dan atrium fibrilasi saat terjadinya stroke akut serta lesi
dengan ukuran yang besar berhubungan bermakna terhadap hasil akhir status
fungsional pada 30 hari dan 6 bulan pasca stroke. Sedangkan stroke lakunar
memiliki prognosis lebih baik daripada jenis stroke lainnya (Censori et al., 1993).
Metode pengukuran outcome
Pengukuran outcome
berperan penting untuk evaluasi efektif dari penanganan pada penderita stroke.
Penelitian tentang outcome neurologis
telah banyak terfokus pada langkah penangan, efek penanangan yang telah
diberikan khususnya penanganan daruratnya, dan sebagai indikator untuk
memprediksi keadaan penderita. Pengukuran yang baik tentang defisit pada
penderita stroke berperan penting tidak hanya untuk pengukuran evaluasi
terapeutik, namun juga untuk perencanaan rehabilitasi dan perawatan (Yamamoto, 2003).
Kehilangan
fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai impairments, disability, dan handicaps. World Health Organization (WHO) membuat batasan sebagai berikut
(Misbach, 1999):
1. Impairment
menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis, dan anatomis yang
disebabkan oleh stroke.
2. Disability
adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang
seharusnya mampu dilakukan orang sehat seperti: tidak bisa berjalan, menelan,
dan melihat akibat stroke.
3. Handicaps
adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita stroke berperan sebagai
manusia normal akibat “impairment”
atau “disability” tersebut.
Secara garis besar, outcome
stroke dapat dikategorikan ke dalam neurologic
impairment (tanda yang diperoleh dengan pemeriksaan yang disebabkan oleh
penyakit), disability (efek
fungsional dari perburukan), dan handicaps
(konsekuensi sosial dari disability).
Secara lebih sederhana lagi dapat diklasifikasikan sebagai impairment measures dan activity
measures.
Barthel
Indeks (BI)
Barthel Indeks dikembangkan untuk mengukur kemandirian fungsional dalam perawatan pribadi dan mobilitas. Ini digunakan untuk memantau kinerja pada pasien kronis sebelum dan setelah perawatan dan untuk menunjukkan jumlah perawatan yang diperlukan. BI telah digunakan dengan pasien rehabilitasi untuk memprediksi lama tinggal, prognosis perkiraan, mengantisipasi hasil akhir, dan sebagai instrumen evaluasi (Mahoney, 1958). Indeks ini dikembangkan juga untuk digunakan pada pasien stroke dan gangguan neuromuskuler lainnya, tetapi juga dapat digunakan untuk pasien onkologi.
BI dianggap skala ukur yang terbaik terhadap Activities Daily Living (ADL) kepada
sejumlah pasien stroke. Walaupun ada beberapa skala lain yang juga sensitif.
Penilaian menggunakan BI pada awal post stroke bisa menjadi alat untuk
pengelompokan yang baik terhadap outcome akhir
pasien dalam 6 bulan berikutnya. Walaupun hari kelima rawatan adalah waktu
tercepat yang bisa untuk membuat perkiraan outcome
akhir dari ADL. BI seharusnya diukur pada akhir minggu minggu pertama perawatan
di Rumah Sakit untuk manajemen rehabilitasi seawal mungkin..BI dianggap paling
baik dan reliabel untuk menilai skala kecacatan pasien stroke.
Tekhnik penilaian BI dengan mengukur
tampilan pasien dalam 10 kegiatan mendasar sehari-hari. Jenis penilaiannya di
kelompokkan dalam kelompok yang berhubungan dengan perawatan diri sendiri
(makan, mandi, berpakaian, penggunaan kamar mandi sendiri, BAB, BAK). Kelompok
kedua yang berhubungan dengan mobilisasi (berpindah, duduk dan bangkit dari
kursi dan lain-lain). Skor total antara 0 (ketergantungan total) sampai 100 (mandiri).
Skor 0-20 menunjukkan ketergantungan total, 21-60 menunjukkan ketergantungan
berat, 61-90 menunjukkan ketergantungan
moderat, 91-99 ketergantungan ringan. Dalam sumber lain menyebutkan < 50
adalah outcome berat dan ≥ 50 adalah outcome ringan (Shah, 2004; Kwakkel et al., 2011; Sulter, 2006).
Pada penilaian dengan
BI skor diperoleh dengan observasi langsung, wawancara
dari penderita sendiri, keluarga, teman atau perawat yang mengetahui pederita. Skor sebaiknya dinilai dari 48 jam sebelumnya.
Skor total dihitung dengan menjumlahkan skor per item individu.
Bantuan-bantuan yang disesuaikan dengan keadaan diizinkan dan dianggap sebagai mandiri. BI ini mencakup kemampuan fungsional yang sangat mendasar dan sementara skor 100 menunjukkan kemandirian, bantuan mungkin masih diperlukan dengan tugas-tugas lain yang lebih tinggi seperti memasak / membersihkan dan karena itu langkah-langkah lain yang diperlukan untuk menilai aktivitas-aktivitas tersebut (Anonimous, 2010).
Bantuan-bantuan yang disesuaikan dengan keadaan diizinkan dan dianggap sebagai mandiri. BI ini mencakup kemampuan fungsional yang sangat mendasar dan sementara skor 100 menunjukkan kemandirian, bantuan mungkin masih diperlukan dengan tugas-tugas lain yang lebih tinggi seperti memasak / membersihkan dan karena itu langkah-langkah lain yang diperlukan untuk menilai aktivitas-aktivitas tersebut (Anonimous, 2010).
Total skor mencerminkan beban keperawatan dan penerimaan sosial dari kegiatan tersebut. Hanya
diperlukan waktu 2-10 menit untuk menyelesaikan penialian
menggunakan BI (lebih jika dinilai dengan pengamatan). Tidak
dibutuhkan pelatihan atau keterampilan khusus untuk melakukan penilaian ini. (Anonimous,
2010).
Pedoman dalam melakukan penilaian Bhartel Indeks (Collin, 1988):
a. Penilaian harus dicatat dari apa yang seorang pasien
bias lakukan, TIDAK sebagai catatan dari apa yang pasien anggap bisa dilakukan.
b. Tujuan utama adalah
untuk menetapkan tingkat dari bantuan, fisik atau verbal, namun kecil dan untuk alasan apapun.
c.
Perlunya pengawasan dianggap pasien tidak mandiri..
d.
Pengamatan yang baik sangat diperlukan, bertanya secara seksama
kepada keluarga atau petugas juga
diperlukan, tetapi tidak boleh meminta pasien melakukan poin penilaian.
e. Penilaian sebaiknya dilkaukan
terhadap kegiatan 24-48 jam terakhir, namun penilaian dalam jangka waktu yang
lebih lama dapat dilakukan untuk hasil yang lebih relevan.
f. Pasien tidak sadar
harus dianggap skor '0 'seluruhnya, walaupun
tanpa inkotinensia.
g. Penggunaan
alat bantu diizinkan dan dianggap mandiri.
Bowel
a. Jika membutuhkan Enema atau bantuan perawat dianngap inkotinensia.
b. Sesekali = seminggu sekali.
a. Jika membutuhkan Enema atau bantuan perawat dianngap inkotinensia.
b. Sesekali = seminggu sekali.
Bladder
a. Sesekali = kurang dari sekali sehari.
b. Pasien yang terpasang kateter, namun dapat mengelola sendiri dianggap mandiri.
a. Sesekali = kurang dari sekali sehari.
b. Pasien yang terpasang kateter, namun dapat mengelola sendiri dianggap mandiri.
Grooming (24 - 48 jam
sebelumnya)
Mengacu pada kebersihan pribadi: menggosok gigi, memasang gigi palsu, menyisir rambut, mencukur, mencuci muka. Penyediaan alat-alat dapat dilakukan oleh penolong.
Mengacu pada kebersihan pribadi: menggosok gigi, memasang gigi palsu, menyisir rambut, mencukur, mencuci muka. Penyediaan alat-alat dapat dilakukan oleh penolong.
Toilet use
a. Dapat mencapai toilet, membuka pakaian,
membersihkan diri dan pakaian dan keluar toilet.
b.
Ketergantungan jika dapat membersihkan diri dan melakukan beberapa
lainnya dibawah pengawasan.
Feeding
a. Mampu untuk makan apapun makanan secara normal
(tidak hanya makanan lunak). Makanan yang dimasak dan disajikan oleh orang
lain, tetapi tidak dipotong.
b. Ketergantungan jika
makanan harus
dipotong-potong, namun pasien makan sendiri.
Transfer
a.
Berpindah
dari tempat ke kursi dan kembali.
b.
Tergantung
= tidak mempunyai keseimbangan untuk duduk (tidak bisa duduk), butuh dua orang untuk mengangkat.
c.
Bantuan
mayor = Bisa duduk dengan bantuan kuat satu orang/ atau dua orang.
d.
Bantuan
minor = berpindah dengan bantuan satu orang dengan mudah, ATAU kebutuhan
pengawasan untuk keselamatan.
Mobility
a. Mengacu pada
mobilitas sekitar rumah atau lingkungan, di dalam ruangan. Dapat menggunakan
bantuan. Jika dengan kursi roda, bisa berbelok di sudut dan
membuka pintu tanpa bantuan.
b. Ketergantungan jika
dibantu oleh satu orang terlatih, termasuk pengawasan / dukungan moral.
Dressing
a.
Dapat memilih dan
memakai semua pakaian, yang dapat sesuaikan dainggap mandiri.
b. Setengah atau
ketergantungan jika ada bantuan memasang
kancing, resleting, dan sebagainya,
tetapi dapat memakai
beberapa pakaian sendiri.
Stairs
Dianggap mandiri jika dapat menaiki tangga tanpa
bantuan.
Bathing
a.
Biasanya
adalah kegiatan yang paling sulit.
b.
Dapat
masuk dan keluar kamar madi tanpa
pengawasan, dan membersihkan diri dianggap mandiri.
c.
Ketergantungan jika dapat
mandi dengan shower tanpa diawasi / tanpa bantuan.
dapusnya kalau bisa di cantumin
ReplyDelete