Tuesday, January 28, 2014

Stroke Iskemik


 Defenisi stroke iskemik
          Stroke iskemik adalah stroke yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan disatu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat terjadi akibat bekuan (trombus) di pembuluh darah otak atau pembuluh atau organ distal, emboli dari pembuluh darah besar dan jantung dan vasokontriksi (Hartwig, 2006).
Klasifikasi stroke Iskemik
          Berdasarkan penyebab stroke iskemik di bagi atas :
a)    Stroke lakunar
Infark lakunar terjadi karena oklusi aterotrombotik atau hialin-lipid salah satu dari cabang penetrans sirkulus Willisi, arteri serebri media, arteri vertebralis dan basilaris. dan dapat menimbulkan sindrom stroke dalam beberapa jam atau lebih lama.

b)   Stroke trombotik pembuluh darah besar
Stroke yang berkaitan dengan arteroskelrotik yang menyebabkan penyempitan dan stenosis di arteri karotis interna atau lebih jarang di pangkal arteri serebri media atau di taut arteri basilaris dan vertebralis.
c)    Stroke emboli
Stroke yang terjadi akibat embolus dari arteri atau jantung biasanya menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit.
d)   Stroke kriptogenik
Stroke dengan penyebab yang tidak jelas walaupun sudah  dilakukan pemerikasaan diagnostik dan evaluasi klinis yang intensif (Hartwig: 2006)
Patogenesis Stroke iskemik
          Akibat penurunan CBF (Cerebral Blood Flow) terdapat beberapa daerah otak yang terisolasi dan tidak mendapat aliran darah yang mengangkut oksigen dan glukosa yang sangat diperlukan untuk metabolisme oksidatif serebral. Daerah yang terisolasi tersebut tidak berfungsi lagi maka timbulah manifestasi defisit neurologik yang biasanya berupa hemiparalisis, hemiparestesia atau afasia.
          Jika CBF regional tersumbat secara parsial maka daerah tersebut akan kekurangan oksigen yang disebut daerah iskemik. Di wilayah itu didapati tekanan perfusi yang rendah, PO2 turun, CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam daerah tersebut bekerjasama untuk menanggulangi keadaan iskemik tersebut dengan mengadakan vasodilatasi maksimal. Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bias dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat daerah iskemik itu tidak dapat teratasi oleh mekanisme autoregulasi dan kelola vasomotor.
          Disitu akan berkembang proses degenerasi yang ireversibel. Semua pembuluh darah di bagian pusat daerah iskemik itu kehilangan tonus sehingga berada dalam keadaan vasoparalisis. Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos pembuluh darah bisa bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Pembengkakan sel  dengan pembengkakan serabut saraf dan mielinnya nerupakan reaksi degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis eritrosit dan leukosit. Akhirnya sel-sel saraf akan musan (Mardjono, 2006).

 Stroke iskemik fase akut
Pada stroke iskemik fase akut  terjadi sumbatan pembuluh darah di otak yang menyebabkan daerah yang iskemik menjadi bengkak atau edema serebri regional. Jika tetap tidak ada darah yang mengalir kesitu maka edema serebri bertambah. Jika setelah 5 hari tidak terdapat perbaikan, maka pusat daerah inti menjadi nekrotik. Apabila edema serebri yang serentak berkembang dengan timbulnya manifestasi klinis dapat diperbaiki dengan cepat, maka jatah darah untuk bagian otak yang iskemik itu akan menjadi besar sesuai dengan mengurangnya edema. Daerah iskemik disekeliling pusat yang sudah nekrotik masih dapat diselamatkan (Mardjono, 2006).
Gejala dan tanda stroke iskemik
          Tanda utama stroke adalah munculnya satu atau lebih neurologik fokal yang mungkin mengalami perbaikan dengan cepat atau malah menetap dan Mengalami perburukan. Gejala umum berupa lemas mendadak di tangan wajah, kaki atau tungkai terutama di salah satu sisi tubuh. Gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau dua mata, bingung dan mendadak tersandung waktu berjalan, pusing, hilangnya keseimbangan atau koordinasi dan nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas.
Gambaran klinis utama yang bekaitan insufisiensi arteri ke otak          :
1.      Arteri serebri media (tersering )
a)        Hemiparesis kontralateral biasanya mengenai lengan
b)        Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral
c)        Afasia global (bila hemisfer utama terkena)
d)       Disfasia
2.      Arteri serebri anterior
a)        Kebingungan adalah gejala utama
b)        Kelumpuhan kontralateral yang biasa lebih besar di tungkai
c)        Defisit sensorik kontralateral
d)       Demensia, gerakan menggengam, reflek patologik

3.      Arteri serebri posterior
a)        Koma
b)        Hemiparesis kontralateral
c)        Afasia visual atau buta kata
d)       Kelumpuhan saraf kranialis ketiga : hemianopsia
4.      Arteri karotis interna
a)        Biasanya unilateral
b)        Dapat terjadi kebutaan 1 mata di sisi arteri yang terkena
c)        Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi arteri serebri media
d)       Lesi dapat terjadi di daerah antara arteri serebri media atau anterior. Gejala kelemahan mula-mula timbal di extremitas atas, bisa mengenai wajah. Bila lesi di hemisfer dominan bisa terjadi afsai ekspresif.
5.      Sistem vertebrobasilar
a)        Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas
b)        Meningkatnya refleks tendon
c)        Ataxia
d)       Tanda Babinski bilateral
e)        Disfagia, disartria, vertigo
f)         Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
g)        Gangguan penglihatan
h)        Gangguan pendengaran
i)          Rasa baal di wajah, mulut, dan lidah (Hartwig,2006).

Karena lokasi anatomik neuron-neuron yang mengendalikan berbagai modalitas motorik dan sensorik di korteks serebrum, gejal spesifik CVA dapat sangat bervariasi, bergantung pada lokasi dan pembuluh darah otak yang terkena, serta lokasi dan jumlah neuron yang cedera. Apabila proses patologik dan jenjang reaksi kimiawi yang terjadi sesudahnya telah berhenti pasien dikatakan mengalami stroke  “sempurna”. Hasilnya adalah suatu defisit neurologik tetap yang timbul pesat atau perlahan (Hartwight, 2006).

Pemeriksaan Penunjang
1.    Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang penting dilakukan pada stroke fase akut yaitu : hitung darah lengkap, PT, PTT, pemeriksaan kimia lengkap, kadar glukosa darah, kolesterol (kolesterol total normal < 200mg/dl) (Wiley, 2007).
2.      CT scan
CT scan adalah kunci diagnosis dan diperlukan sebelum terapi walaupun MRI adalah alat untuk diagnosa yang terbaik. CT scan dalam 6 jam pertama sering tidak bisa memperlihatkan gambaran iskemik. Gambaran CT scan ini dapat memberikan informasi tentang prognosis stroke, seperti adanya hiperdensitas spontan arteri serebri media menunjukkan prognosis yang baru (Fisher, 2001).
3.      Elektrokardiografi
Disritmia yang paling sering terjadi pada stroke iskemik. Pada atrial fibrilasi biasanya terdapat trombus yang dapat menyebabkan emboli di  serebri dan merupakan faktor risiko yang kuat untuk kejadian stroke emboli yang berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Trombus adalah massa padat atau sumbatan yang terbentuk dari unsur-unsur darah dalam sirkulasi. Faktor risiko terjadinya trombosis berkaitan dengan aterosklerosis diantaranya hipertensi, hiperlipidemia, kelainan EKG, diabetes mellitus, dan peningkatan fibrinogen (Fisher, 2001; Nasution, 2006; Rasyid, 2008).
Kondisi jantung merupakan sumber potensial terjadinya kardioemboli antara lain pembesaran atrium kiri, anurisma septum atrium, fibrilasi atrium, penyakit jantung katup dan gangguan kontraksi ventrikel. Kondisi-kondisi tersebut mengakibtakan penurunan aliran darah akibat dilatasi jantung terutama atrium kiri yang mengakibatkan stasis darah sehingga dapat mengaktifkan faktor koagulasi dan menyebabkan aktivasi platelet (Fisher, 2001).

  Faktor-faktor yang dapat  memperburuk outcome stroke iskemik
 Faktor Risiko Stroke iskemik
Terdapat beberapa pembagian dari faktor risiko terjadinya stroke, yaitu Nonmodifiable stroke risk factors, Modifiable stroke risk factors, dan Potentially modifiable risk factors (Goldstein, 2009; Adams, 2005).
Menurut Goldstein (2009), dan Adams (2005) Nonmodifiable stroke risk factorsterdiri dari: Umur, Jenis kelamin, Suku bangsa, Berat lahir rendah, dan Genetik. Modifiable stroke risk factors terdiri dari: Hipertensi, Merokok, Diabetes mellitus, Stenosis karotis asimptomatik, Fibrilasi Atrium, Sickle-cell disease, Hiperlipidemia, Faktor Diet (diet yang tidak sehat), Obesitas, Kurang beraktifitas fisik, Terapi hormon (postmenopause), Penyakit jantung. Menurut Goldstein (2009), Potentially modifiable risk factors terdiri dari: Sindrom metabolik, penyalahgunaan alkohol, penyalahgunaan obat, penggunaan kontrasepsi oral, gangguan napas selama tidur, hyperhomocysteinemia, kenaikan lipoprotein, inflamasi, dan aspirin.
a.    Usia tua
       Meskipun stroke dapat mempengaruhi seseorang dari segala usia, penyakit ini terutama mempengaruhi populasi yang lebih tua, Risiko stroke dua kali lipat untuk setiap dekade setelah usia 55.
b.    Jenis kelamin
Pria mati lebih awal akibat penyakit jantung, dan ini dapat menjelaskan adanya peningkatan risiko stroke pada wanita yang berusia tua; perempuan diperkirakan merupakan mayoritas kematian akibat stroke di Amerika Serikat (61,5%). Wanita memiliki insidensi yang lebih tinggi pada usia tertentu. Wanita pengguna kontrasepsi oral (OC) dan wanita hamil berkontribusi meningkatan insidensi Angka kematian dan kesakitan pada stroke iskemik biasa lebih sering pada laki-laki (Toole, 1990; Fisher, 2001; Goldstein, 2009; Adams,  2005).

c. Suku Bangsa
       Afrika-Amerika dan Latin Amerika memiliki insiden stroke lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika keturunan Eropa. Kelompok ini memiliki prevalensi yang lebih tinggi pada hipertensi, diabetes dan obesitas.
d.  Berat Lahir Rendah
       Diperkirakan bahwa risiko stroke lebih dari dua kali lipat pada orang dengan berat lahir < 2,5 kg dibandingkan dengan > 4 kg. Penyebab asosiasi ini masih belum pasti namun dapat menjelaskan perbedaan regional dalam kematian stroke yang terkait.
e.  Genetik
       Peningkatan risiko stroke pada pasien dengan sejarah paternal dan maternal dapat disebabkan oleh warisan genetik dari modifiable risk factors dan faktor risiko lingkungannya, seperti kesamaan dalam makanan dan gaya hidup antara orang tua dan anak mereka.
f. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko Modifiable yang paling penting. Bertanggung jawab terhadap 50% dari semua stroke. Risiko peningkatan hipertensi bertambah dengan meningkatnya usia. Lebih dari 90% dari orang dengan tekanan darah normal pada usia 55 akan menjadi hipertensi pada dekade kesembilan kehidupan mereka (Goldstein, 2009; Adams, 2005).
g. Fibrilasi atrium (FA)
FA bertanggung jawab sekitar 60.000 stroke per tahun di Amerika Serikat, atau dalam  2% sampai 4% orang dengan FA tanpa riwayat iskemia otak. Hal ini umum di antara pasien yang lebih tua, mempengaruhi 5% dari orang-orang lebih dari 70 tahun. FA bertanggung jawab untuk hampir 25% dari semua stroke pada pasien lebih dari 80 tahun. Pasien dengan AF yang memiliki risiko vaskuler lainnya berisiko lebih tinggi terserang stroke (Goldstein, 2009; Adams, 2005).

 Faktor yang memperberat Outcome Stroke iskemik
a.    Usia
Toole (1990) telah mengklasifikasikan kelompok usia pada penderita stroke, yakni usia muda 10-40 tahun dan usia tua > 40 tahun (Toole, 1990). Usia tua akan semakin memperburuk outcome stroke, sesuai dengan faktor risikonya. Wade melaporkan bahwa umur berpengaruh pada hasil akhir stroke dalam hal fungsi aktivitas kehidupan sehari-hari, tapi tidak pada aspek perbaikan neurologis (Wade, 1983). Stroke iskemik yang terjadi sebelum umur 45 tahun (dewasa muda), risiko kematiannya menjadi sangat rendah (2%), demikian pula risiko stroke ulang (Yamaguchi et al., 1992).

b.    Jenis kelamin
Angka kematian dan kesakitan pada stroke iskemik biasa lebih sering pada laki-laki dan ini berlaku untuk kebanyakan kelompok usia, dengan pengecualian orang yang berusia 35-44 tahun dan mereka yang berumur lebih dari 85 tahun. Pada kelompok ini, wanita memiliki insidensi yang lebih tinggi pada usia tertentu (Toole, 1990; Fisher, 2001; Goldstein, 2009; Adams, 2005).
c.    Hipertensi
Tekanan darah yang tinggi saat terjadinya stroke iskemik akut berhubungan dengan respon inflamasi yang dapat memperburuk outcome neurologis. Selain itu, infark serebrum dapat terjadi setelah embolus di suatu arteri yang  mengakibatkan perdarahan. Apabila embolus telah dilenyapkan dari arteri,dinding pembuluh darah bekas  tempat oklusi akan mengalami perlemahan selama beberapa hari pertama setelah oklusi dan dapat mengalami perdarahan atau kebocoran jika hipertensi tidak dikendalikan dan dapat menyebabakan kerusakan lebih lanjut (Rodriguez, 2006; Hartwig, 2006).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hipertensi, yang diukur secara manual maupun melalui pembacaan monitor 24 jam pada stroke fase akut dikaitkan dengan outcome yang buruk. Penjelasan dari penemuan ini belum diberikan secara pasti, walaupun secara spekulatif hipertensi dapat menginisiasi kejadian berulang dalam waktu yang relatif singkat, transformasi menjadi perdarahan, ataupun pembentukan edema serebral (Leonardi-Bee et al., 2002).
d.        Penurunan Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien saat onset mempengaruhi baik buruknya outcome stroke. Parameter kesadaran yang paling lazim digunakan adalah Glasgow Coma Scale (GCS) dengan penilaian 3 komponen, yakni mata (E, 4 poin), motorik (M, 6 poin), dan verbal (V, 5 poin). Berikut ini adalah interpretasi skala GCS :
1)      Skor 15     : compos mentis
2)      Skor 13-14 : Somnolen
3)      Skor 9-12  : Sopor
4)      Skor 3-8    : koma
GCS > 11 menunjukkan kemungkina untuk sembuh yang besar (Toole, 1990; Hartwig, 2006).

e.         Peningkatan kadar glukosa darah      
Saat stroke iskemik terjadi metabolisme anaerob yang menghasilkan asam laktat yang bersifat neurotoksik. Untuk itu kadar glukosa  perlu dipertahankan pada kadar normal. Peninggian kadar glukosa darah sering dihubungkan dengan tingginya angka kesakitan dan kematian pada stroke iskemik akut pada tipe nonlakunar. Kadar glukosa darah yang tinggi dikaitkan dengan meningkatnya kejadian perdarahan (hemoragik) setelah iskemik. Kadar glukosa darah sewaktu normal < 110 mg/dl (Toole, 1990; Gustaviani, 2006; Bruno, 2010).
Hiperglikemia setelah kejadian stroke telah dikaitkan dengan outcome yang buruk dan terutama berpengaruh pada penderita tanpa diabetes. Hiperglikemia akut diprediksi meningkatkan risiko kematian di rumah sakit setelah stroke iskemik pada penderita non diabetik dan memperburuk outcome fungsional pada penderita non diabetik yang bertahan hidup (Capes et al., 2001).

f.         Gambaran Radiologis
CT scan dalam 6 jam pertama sering tidak bisa memperlihatkan gambaran iskemik. Gambaran CT scan ini dapat memberikan informasi tentang prognosis stroke, seperti adanya hiperdensitas spontan arteri serebri media menunjukkan stroke yang baru (Fisher, 2001). Pada kejadian trombotik, penderita dengan lesi kecil dan dalam dengan defisit neurologis fokal tanpa terjadinya penurunan kesadaran mempunyai prognosis penyembuhan fungsional yang sangat baik. Lesi yang lebih besar pada daerah yang sama, tetapi meluas sampai ke korteks menyebabkan defisit neurologis fokal, yang berakibat lebih besar pada kesiagaan dan meninggalkan defisit berupa gangguan kognitif yang akan menghambat penyembuhan fungsional (Toole, 1990).
Beratnya defisit neurologis dan atrium fibrilasi saat terjadinya stroke akut serta lesi dengan ukuran yang besar berhubungan bermakna terhadap hasil akhir status fungsional pada 30 hari dan 6 bulan pasca stroke. Sedangkan stroke lakunar memiliki prognosis lebih baik daripada jenis stroke lainnya (Censori et al., 1993).
Metode pengukuran outcome
          Pengukuran outcome berperan penting untuk evaluasi efektif dari penanganan pada penderita stroke. Penelitian tentang outcome neurologis telah banyak terfokus pada langkah penangan, efek penanangan yang telah diberikan khususnya penanganan daruratnya, dan sebagai indikator untuk memprediksi keadaan penderita. Pengukuran yang baik tentang defisit pada penderita stroke berperan penting tidak hanya untuk pengukuran evaluasi terapeutik, namun juga untuk perencanaan rehabilitasi dan perawatan (Yamamoto,  2003).
Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai impairments, disability, dan handicaps. World Health Organization (WHO) membuat batasan sebagai berikut (Misbach, 1999):
1.    Impairment menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis, dan anatomis yang disebabkan oleh stroke.
2.    Disability adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan orang sehat seperti: tidak bisa berjalan, menelan, dan melihat akibat stroke.
3.    Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita stroke berperan sebagai manusia normal akibat “impairment” atau “disability” tersebut.
Secara garis besar, outcome stroke dapat dikategorikan ke dalam neurologic impairment (tanda yang diperoleh dengan pemeriksaan yang disebabkan oleh penyakit), disability (efek fungsional dari perburukan), dan handicaps (konsekuensi sosial dari disability). Secara lebih sederhana lagi dapat diklasifikasikan sebagai impairment measures dan activity measures.
Barthel Indeks (BI)
Barthel Indeks dikembangkan untuk mengukur kemandirian fungsional dalam perawatan pribadi dan mobilitas. Ini digunakan untuk memantau kinerja pada pasien kronis sebelum dan setelah perawatan dan untuk menunjukkan jumlah perawatan yang diperlukan. BI telah digunakan dengan pasien rehabilitasi untuk memprediksi lama tinggal, prognosis perkiraan, mengantisipasi hasil akhir, dan sebagai instrumen evaluasi (Mahoney, 1958). Indeks ini dikembangkan juga untuk digunakan pada pasien stroke dan gangguan neuromuskuler lainnya, tetapi juga dapat digunakan untuk pasien onkologi.
BI dianggap skala ukur yang terbaik terhadap Activities Daily Living (ADL) kepada sejumlah pasien stroke. Walaupun ada beberapa skala lain yang juga sensitif. Penilaian menggunakan BI pada awal post stroke bisa menjadi alat untuk pengelompokan yang baik terhadap outcome akhir pasien dalam 6 bulan berikutnya. Walaupun hari kelima rawatan adalah waktu tercepat yang bisa untuk membuat perkiraan outcome akhir dari ADL. BI seharusnya diukur pada akhir minggu minggu pertama perawatan di Rumah Sakit untuk manajemen rehabilitasi seawal mungkin..BI dianggap paling baik dan reliabel untuk menilai skala kecacatan pasien stroke.
          Tekhnik penilaian BI dengan mengukur tampilan pasien dalam 10 kegiatan mendasar sehari-hari. Jenis penilaiannya di kelompokkan dalam kelompok yang berhubungan dengan perawatan diri sendiri (makan, mandi, berpakaian, penggunaan kamar mandi sendiri, BAB, BAK). Kelompok kedua yang berhubungan dengan mobilisasi (berpindah, duduk dan bangkit dari kursi dan lain-lain). Skor total antara 0 (ketergantungan total) sampai 100 (mandiri). Skor 0-20 menunjukkan ketergantungan total, 21-60 menunjukkan ketergantungan berat, 61-90 menunjukkan  ketergantungan moderat, 91-99 ketergantungan ringan. Dalam sumber lain menyebutkan < 50 adalah outcome berat dan ≥ 50 adalah outcome ringan (Shah, 2004; Kwakkel et al., 2011; Sulter, 2006).
          Pada penilaian dengan BI skor diperoleh dengan observasi langsung, wawancara dari penderita sendiri, keluarga, teman atau perawat yang mengetahui pederita. Skor sebaiknya dinilai dari 48 jam sebelumnya.
           Skor total dihitung dengan menjumlahkan skor per item individu.
Bantuan-bantuan yang disesuaikan dengan keadaan diizinkan dan dianggap sebagai mandiri. BI ini mencakup kemampuan fungsional yang sangat mendasar dan sementara skor 100 menunjukkan kemandirian, bantuan mungkin masih diperlukan dengan tugas-tugas lain yang lebih tinggi seperti memasak / membersihkan dan karena itu langkah-langkah lain yang diperlukan untuk menilai aktivitas-aktivitas tersebut (Anonimous, 2010).
          Total skor mencerminkan beban keperawatan dan penerimaan sosial dari kegiatan tersebut. Hanya diperlukan waktu  2-10 menit untuk menyelesaikan penialian menggunakan BI (lebih jika dinilai dengan pengamatan). Tidak dibutuhkan pelatihan atau keterampilan khusus untuk melakukan penilaian ini. (Anonimous, 2010).

Pedoman dalam melakukan penilaian Bhartel Indeks (Collin, 1988):
a. Penilaian  harus dicatat dari apa yang seorang pasien bias lakukan, TIDAK sebagai catatan dari apa yang pasien anggap bisa dilakukan.
b. Tujuan utama adalah untuk menetapkan tingkat dari bantuan, fisik atau verbal, namun kecil dan untuk alasan apapun.
c.  Perlunya pengawasan dianggap pasien tidak mandiri..
d.  Pengamatan yang baik sangat diperlukan, bertanya secara seksama kepada  keluarga atau petugas juga diperlukan, tetapi tidak boleh meminta pasien melakukan poin penilaian.
e. Penilaian sebaiknya dilkaukan terhadap kegiatan 24-48 jam terakhir, namun penilaian dalam jangka waktu yang lebih lama dapat dilakukan untuk hasil yang lebih relevan.
f.  Pasien tidak sadar harus  dianggap skor '0 'seluruhnya, walaupun tanpa inkotinensia.
g.  Penggunaan alat bantu diizinkan dan dianggap mandiri.

Bowel
a. Jika membutuhkan Enema atau bantuan perawat dianngap inkotinensia.
b. Sesekali = seminggu sekali.
Bladder
 a. Sesekali = kurang dari sekali sehari.
 b. Pasien yang terpasang kateter, namun dapat mengelola sendiri dianggap mandiri.
Grooming (24 - 48 jam sebelumnya)
Mengacu pada kebersihan pribadi: menggosok gigi,  memasang gigi palsu, menyisir rambut, mencukur, mencuci muka. Penyediaan alat-alat dapat dilakukan oleh penolong.
Toilet use
a. Dapat mencapai toilet, membuka pakaian, membersihkan diri dan pakaian dan keluar toilet.
b.    Ketergantungan jika  dapat membersihkan diri dan melakukan beberapa lainnya dibawah pengawasan.
Feeding
a.    Mampu untuk makan apapun makanan secara normal (tidak hanya makanan lunak). Makanan yang dimasak dan disajikan oleh orang lain, tetapi tidak dipotong.
b.    Ketergantungan jika makanan harus dipotong-potong, namun pasien makan sendiri.
Transfer
a.    Berpindah dari tempat ke kursi dan kembali.
b.    Tergantung = tidak mempunyai keseimbangan untuk duduk (tidak bisa duduk), butuh  dua orang untuk mengangkat.
c.     Bantuan mayor =  Bisa duduk dengan bantuan  kuat  satu orang/ atau dua orang.
d.    Bantuan minor = berpindah dengan bantuan satu orang dengan mudah, ATAU kebutuhan pengawasan untuk keselamatan.
Mobility
a.  Mengacu pada mobilitas sekitar rumah atau lingkungan, di dalam ruangan. Dapat menggunakan bantuan. Jika dengan kursi roda, bisa berbelok di sudut dan membuka pintu tanpa bantuan.
b.  Ketergantungan  jika dibantu oleh satu orang terlatih, termasuk pengawasan / dukungan moral.
Dressing
a.      Dapat memilih dan memakai semua pakaian, yang dapat sesuaikan dainggap mandiri.
b.      Setengah  atau ketergantungan jika ada bantuan memasang kancing, resleting, dan sebagainya, tetapi dapat memakai  beberapa pakaian sendiri.
Stairs
Dianggap mandiri jika dapat menaiki tangga tanpa bantuan.
Bathing
a.       Biasanya adalah kegiatan yang paling sulit.
b.      Dapat  masuk dan keluar kamar madi tanpa pengawasan, dan membersihkan diri dianggap mandiri.
c.        Ketergantungan  jika dapat mandi dengan shower tanpa  diawasi / tanpa bantuan.

1 comment: